Original article
The Reog Ponorogo: A Dance of Rebellion Which
Changed History
A fearsome lion
monster with peacock feathers on its head charged and twirled about as
cavalrymen curtseyed and jumped by. The onlookers were entranced with the story
playing out in front of them. This is just a taste of the Reog Ponorogo, a
traditional dance which is more than just a performing art. It also involves
displays of physical prowess as well as the supernatural. It is such an iconic
aspect of their culture that the people of the Ponorogo Regency in Indonesia
see the Reog Ponorogo as their very identity. The Reog Ponorogo is a
traditional dance form originating in Ponorogo, a regency (administrative
subdivision) in East Java, Indonesia. Whilst there are various types of Reog in
Indonesia, the Reog Ponorogo is one of the more well-known ones.
How the Reog Ponorogo Began
There are several stories regarding the origin of the Reog Ponorogo. The most popular one involves Ki Ageng Kutu, a Majapahit courtier who lived during the 15th century. Ki Ageng Kutu served in the court of Kertabhumi Bhre (often equated with Brawijaya V), the last king of the Majapahit Empire. During this period, the empire was in decline, the court corrupt, and the king incompetent. Ki Ageng Kutu foresaw that the empire would come to an end and decided to leave the royal court. He arrived at Ponorogo and set up an institution to teach young people martial arts as well as mysticism. Ki Ageng Kutu’s hope was that his students would bring back the glory days of the Majapahit Empire.
There are several stories regarding the origin of the Reog Ponorogo. The most popular one involves Ki Ageng Kutu, a Majapahit courtier who lived during the 15th century. Ki Ageng Kutu served in the court of Kertabhumi Bhre (often equated with Brawijaya V), the last king of the Majapahit Empire. During this period, the empire was in decline, the court corrupt, and the king incompetent. Ki Ageng Kutu foresaw that the empire would come to an end and decided to leave the royal court. He arrived at Ponorogo and set up an institution to teach young people martial arts as well as mysticism. Ki Ageng Kutu’s hope was that his students would bring back the glory days of the Majapahit Empire.
Nevertheless, the
number of his followers was small and would not be able to take on the might of
the Majapahit army. Therefore, in order to bring his message to a wider
audience, and to gain their support, Ki Ageng Kutu devised the Reog Ponorogo.
This strategy worked, and the dance became very popular amongst the people of
Ponorogo.
The king of
Majapahit was aware of the situation and an army was sent against Ki Ageng Kutu
and his followers. Although the school was destroyed, the survivors continued
to practice their arts in secret. Regarding the Reog Ponorogo, the king was
unable to stop it from being performed in public as it had already gained much
popularity. Instead, new plots were added, along with new characters from the
folklore of Ponorogo. The Reog Ponorogo eventually became the traditional dance
of the inhabitants of Ponorogo. Today it’s performed at such special events as
weddings, Islamic celebrations, and the anniversary of the Ponorogo Regency.
Each Reog Ponorogo
troupe consists of between 25 and 35 members and each performance is normally
composed of 3 dance sequences. In addition, there are a number of set
characters in this traditional dance form. One of these is the Jathil, who
represent cavalrymen. Traditionally, it was male dancers with feminine looks
who played this role. Today, however, it is women who play this part. According
to one source, the Jathil symbolize the effeminate Majapahit cavalry who served
Kertabhumi Bhre.
The rich symbolism
of the Reog Ponorogo can also be seen in the character of the Singa Barong, a
fearsome lion monster with peacock feathers on its head. The lion is supposed
to represent the Majapahit king, whilst the feathers his queen. This was meant
as a critique of the king, who, in spite of his ferocious looks, was controlled
by the queen. The mask of the Singa Barong can weigh up to 50 kg (110lbs.), and
the dancer playing this part uses only his teeth to support the heavy load.
A Case of Identity
In 2007, a
Malaysian tourism commercial, which was part of the Malaysia Truly Asia
campaign, featured the Tari Barongan. This is a dance similar to the Reog
Ponorogo, but it was probably brought to the country by migrants from
Indonesia. For the people of Ponorogo, this was regarded as an identity theft,
as the commercial did not acknowledge the origins of the dance.
Furthermore, the
words ‘Reog Ponorogo’ on the mask of the Singa Barong was replaced with that of
‘Malaysia’, making matters worse. The silver lining, however, is that there was
renewed enthusiasm for the traditional dance in the following months.
Nevertheless, the spreading and development of the Reog Ponorogo in other parts
of the world comes into conflict with a desire to protect this traditional
dance by the people of Ponorogo. This is a thorny issue that may be resolved in
the future.
Translated by Google Translate
Monster
singa yang menakutkan dengan bulu burung merak di kepalanya dibebankan dan
berputar-putar saat kavaleri dibungkam dan melompat. Para penonton terpesona
dengan cerita yang diputar di depan mereka. Ini hanya rasa dari Reog Ponorogo,
sebuah tarian tradisional yang lebih dari sekedar seni pertunjukan. Ini juga
melibatkan tampilan kecakapan fisik dan juga supranatural. Ini adalah aspek
ikon budaya mereka sehingga masyarakat Kabupaten Ponorogo di Indonesia melihat
Reog Ponorogo sebagai identitas mereka. Reog Ponorogo adalah bentuk tarian
tradisional yang berasal dari Ponorogo, sebuah kabupaten (subdivisi
administratif) di Jawa Timur, Indonesia. Sementara ada berbagai jenis Reog di
Indonesia, Reog Ponorogo adalah salah satu yang paling terkenal.
Bagaimana Reog Ponorogo Mulai
Ada beberapa cerita mengenai asal usul Reog Ponorogo. Yang paling populer melibatkan Ki Ageng Kutu, seorang majelis Majapahit yang tinggal pada abad ke-15. Ki Ageng Kutu bertugas di istana Kertabhumi Bhre (sering disamakan dengan Brawijaya V), raja terakhir dari Kekaisaran Majapahit. Selama periode ini, kekaisaran pun mengalami kemunduran, pengadilan korup, dan sang raja tidak kompeten. Ki Ageng Kutu meramalkan bahwa kekaisaran akan segera berakhir dan memutuskan untuk meninggalkan istana. Dia tiba di Ponorogo dan mendirikan sebuah institusi untuk mengajarkan bela diri bela diri serta mistisisme. Harapan Ki Ageng Kutu adalah bahwa murid-muridnya akan mengembalikan masa kejayaan Kerajaan Majapahit.
Ada beberapa cerita mengenai asal usul Reog Ponorogo. Yang paling populer melibatkan Ki Ageng Kutu, seorang majelis Majapahit yang tinggal pada abad ke-15. Ki Ageng Kutu bertugas di istana Kertabhumi Bhre (sering disamakan dengan Brawijaya V), raja terakhir dari Kekaisaran Majapahit. Selama periode ini, kekaisaran pun mengalami kemunduran, pengadilan korup, dan sang raja tidak kompeten. Ki Ageng Kutu meramalkan bahwa kekaisaran akan segera berakhir dan memutuskan untuk meninggalkan istana. Dia tiba di Ponorogo dan mendirikan sebuah institusi untuk mengajarkan bela diri bela diri serta mistisisme. Harapan Ki Ageng Kutu adalah bahwa murid-muridnya akan mengembalikan masa kejayaan Kerajaan Majapahit.
Meski begitu, jumlah
pengikutnya masih kecil dan tidak akan mampu menguasai kekuatan tentara
Majapahit. Oleh karena itu, untuk menyampaikan khalayaknya kepada khalayak yang
lebih luas, dan untuk mendapatkan dukungan mereka, Ki Ageng Kutu merancang Reog
Ponorogo. Strategi ini berhasil, dan tariannya menjadi sangat populer di
kalangan masyarakat Ponorogo.
Arti Baru untuk Tari
Pemberontakan
Raja Majapahit menyadari situasi dan sebuah tentara dikirim melawan Ki Ageng Kutu dan para pengikutnya. Meski sekolahnya hancur, korban selamat terus mempraktekkan keseniannya secara rahasia. Mengenai Reog Ponorogo, raja tidak dapat menghentikannya tampil di depan umum karena telah mendapat banyak popularitas. Sebagai gantinya, plot baru ditambahkan, bersamaan dengan karakter baru dari cerita rakyat Ponorogo. Reog Ponorogo akhirnya menjadi tarian tradisional penduduk Ponorogo. Hari ini dilakukan pada acara spesial seperti pernikahan, perayaan Islam, dan hari jadi Kabupaten Ponorogo.
Raja Majapahit menyadari situasi dan sebuah tentara dikirim melawan Ki Ageng Kutu dan para pengikutnya. Meski sekolahnya hancur, korban selamat terus mempraktekkan keseniannya secara rahasia. Mengenai Reog Ponorogo, raja tidak dapat menghentikannya tampil di depan umum karena telah mendapat banyak popularitas. Sebagai gantinya, plot baru ditambahkan, bersamaan dengan karakter baru dari cerita rakyat Ponorogo. Reog Ponorogo akhirnya menjadi tarian tradisional penduduk Ponorogo. Hari ini dilakukan pada acara spesial seperti pernikahan, perayaan Islam, dan hari jadi Kabupaten Ponorogo.
Setiap rombongan Reog
Ponorogo terdiri dari 25 sampai 35 anggota dan setiap pertunjukan biasanya
terdiri dari 3 urutan tari. Selain itu, ada sejumlah karakter set dalam bentuk
tarian tradisional ini. Salah satunya adalah Jathil, yang mewakili kavaleri.
Secara tradisional, penari pria dengan penampilan feminin memainkan peran ini.
Hari ini, bagaimanapun, adalah wanita yang memainkan peran ini. Menurut salah
satu sumber, Jathil melambangkan kavaleri Majapahit yang bajik yang melayani
Kertabhumi Bhre.
Simbolisme yang kaya
dari Reog Ponorogo juga bisa dilihat dalam karakter Singa Barong, monster singa
yang menakutkan dengan bulu merak di kepalanya. Singa itu seharusnya mewakili
raja Majapahit, sementara bulu ratunya. Ini dimaksudkan sebagai kritik terhadap
raja, yang, meski terlihat garang, dikendalikan oleh ratu. Topeng Singa Barong
bisa beratnya mencapai 50 kg (110 lbs). Dan penari yang bermain di bagian ini
hanya menggunakan giginya untuk menopang beban berat.
Kasus Identitas
Pada tahun 2007, sebuah
iklan pariwisata Malaysia, yang merupakan bagian dari kampanye Malaysia Truly
Asia, menampilkan Tari Barongan. Ini adalah tarian yang mirip dengan Reog
Ponorogo, tapi mungkin dibawa ke negara ini oleh para migran asal Indonesia.
Bagi masyarakat Ponorogo, ini dianggap sebagai pencurian identitas, karena
iklan tersebut tidak mengakui asal mula tarian.
Selanjutnya, kata 'Reog
Ponorogo' di topeng Singa Barong diganti dengan 'Malaysia', membuat keadaan
menjadi lebih buruk. Lapisan perak, bagaimanapun, adalah bahwa ada antusiasme
baru untuk tarian tradisional pada bulan-bulan berikutnya. Meski begitu,
penyebaran dan perkembangan Reog Ponorogo di belahan dunia lainnya berseteru
dengan keinginan untuk melindungi tarian tradisional ini oleh masyarakat
Ponorogo. Ini adalah masalah berduri yang bisa dipecahkan di masa depan.
Translated
manually by Rahmaluttifah
Singa
raksasa menakutkan dengan bulu burung merak di kepalanya berjalan dan
berputar-putar kemudian melompati seorang kavaleri yang merundukkan badannya
dengan melipat kakinya. Para penonton dibuat terpukau dengan cerita yang
dimainkan dihadapan mereka. Itulah rasanya menyaksikan Reog Ponorogo, sebuah
tarian tradisional yang lebih dari sekadar sebuah pertunjukkan seni. Reog
ponorogo juga melibatkan peetunjukkan keahlian fisik dan supranatural yang
hebat. Itu merupakan aspek simbolik kebudayaan yang orang-orang Ponorogo di
Indonesia menganggap hal tersebut sebagai identitas mereka. Reog Ponorogo merupakan
tarian tradisional berasal dari Ponorogo, sebuah kabupaten di Jawa Timur,
Indonesia. Walaupun ada banyak macam Reog di Indonesia, Reog Ponorogo adalah
salah satu yang paling terkenal.
Ada
beberapa cerita mengenai asal-usul Reog Ponorogo. Salah satu yang paling
terkenal ialah yang melibatkan Ki Ageng Kutu, seorang anggota Kerajaan
Majapahit yang hidup pada abad ke-15. Ki Ageng Kutu bertugas di masa
pemerintahan Kertabhumi Bhre (sering disebut
Brawijaya V), Raja terakhir di
Kerajaan Majapahit. Kondisi kerajaan sedang menurun pada masa ini, pemerintahan
korupsi, dan Raja yang tidak kompeten. Ki Ageng Kutu meramalkan bahwa kerajaan
akan berakhir dan memutuskan untuk meninggalkan kerajaan. Dia sampai di
Ponorogo dan mendirikan institusi untuk mengajarkan seni bela diri dan ilmu
mistis kepada anak-anak muda. Ki Ageng Kutu berharap murid-muridnya dapat
membuat Kerajaan Majapahit Berjaya kembali.
Namun, jumlah
pengikutnya sedikit dan tidak akan mampu mengambil-alih pasukan Majapahit. Maka
dari itu, demi menyebarkan pesannya ke khalayak ramai, dan untuk mendapatkan
dukungan mereka, Ki Ageng Kutu membuat Reog Ponorogo. Strategi ini berhasil,
dan tarian tersebut pun menjadi sangat terkenal di kalangan masyarakat
Ponorogo.
Raja
Majapahit mengetahui mengenai situasi yangsedang terjadi di masyarakatnya dan
mengirimkan pasukannya untuk menghadapi Ki Ageng Kutu dan para pengikutnya.
Meskipun sekolah bela diri tersebut dihancurkan, orang-orang yang selamat tetap
berlatih kesenian mereka secara diam-diam. Untuk Reog Ponorogo, Raja tidak
dapat menghentikan pertunjukkannya karena sudah sangat terkenal. Maka, Raja
menambahkan alur cerita dan karakter baru yang berasal dari cerita rakyat
Ponorogo kedalam pertunjukkan Reog Ponorogo. Reog Ponorogo pun menjadi tarian
tradisional masyarakat Ponorogo. Sekarang, Reog Ponorogo ditampilkan pada
acara-acara special seperti pernikahan, perayaan islamik, dan perayaan ulang
tahun Kabupaten Ponorogo.
Setiap rombongan Reog
Ponorogo terdiri dari sekitar 25 sampai 35 anggotadan setiap pertunjukkan
tersusun dari 3 rentetan tarian. Kemudian, ada beberapa pasang karakter dalam
tarian tradisional ini. Salah satunya merupakan Jathil, yang bertindak sebagai
kavaleri. Secara tradisional, yang memaninkan karakter Jathil merupakan seorang
pria yang berdandan seperti seorang wanita. Namun sekarang, yang memainkan
karakter ini adalah perempuan. Berdasarkan satu sumber, Jathil menyimbolkan
kejantinaan kavaleri Majapahit yang melayani Kertabhumi Bhre.
Kekayaan simbolisme
Reog Ponorogo juga dapat dilihat dari karakter Singa Barong, singa raksasa
dengan bulu burung merak di kepalanya. Singa tersebut merepresentasikan Raja
Majapahit, sedangkan bulu-bulu tersebut merepresentasikan Ratu. Itu dimaksudkan
sebagai kritikkan kepada Raja, yang memiliki wajah garang namun dikendalikan
oleh Ratu. Berat topeng Singa Barong dapat mencapai 50 kg (110lbs.), dan penari
yang memainkan bagian ini hanya menggunakan giginya untuk menopang berat topeng
tersebut.
Sebuah Kasus Identitas
Pada 2007, iklan
pariwisata Malaysia, yang merupakan bagian dari kampanye Malaysia Truly Asia,
menampilkan Tari Barongan, tarian yang menyerupai Reog Ponorogo. Namun, itu
mungkin dibawa ke Malaysia oleh migran dari Indonesia. Untuk masyarakat
Ponorogo, hal ini dianggap sebagai pencurian identitas, karena iklan tersebut
tidak menyebutkan asal dari tarian tersebut.
Lebih jauh lagi, yang
membuat lebih parah adalah kata ‘Reog Ponorogo’ yang berada di topeng Singa
Barong digantikan dengan kata ‘Malaysia’. Namun, garis perak yang ada
diperbaharui bulan berikutnya. Akan tetapi penyebaran dan perkembangan Reog
Ponorogo di bagian lain dunia dating bersama konflik dengan keinginan
masyarakat Ponorogo untuk melindungi tarian tradisionalnya. Ini merupakan isu
tajam yang mungkin dapat diselesaikan di kemudian hari.
by:
Rahmaluttifah
4SA01