Minggu, 18 Maret 2018

Tugas 1 Penerjemahan Berbantuan Komputer


Original article
The Reog Ponorogo: A Dance of Rebellion Which Changed History
A fearsome lion monster with peacock feathers on its head charged and twirled about as cavalrymen curtseyed and jumped by. The onlookers were entranced with the story playing out in front of them. This is just a taste of the Reog Ponorogo, a traditional dance which is more than just a performing art. It also involves displays of physical prowess as well as the supernatural. It is such an iconic aspect of their culture that the people of the Ponorogo Regency in Indonesia see the Reog Ponorogo as their very identity. The Reog Ponorogo is a traditional dance form originating in Ponorogo, a regency (administrative subdivision) in East Java, Indonesia. Whilst there are various types of Reog in Indonesia, the Reog Ponorogo is one of the more well-known ones.

How the Reog Ponorogo Began
There are several stories regarding the origin of the Reog Ponorogo. The most popular one involves Ki Ageng Kutu, a Majapahit courtier who lived during the 15th century. Ki Ageng Kutu served in the court of Kertabhumi Bhre (often equated with Brawijaya V), the last king of the Majapahit Empire. During this period, the empire was in decline, the court corrupt, and the king incompetent. Ki Ageng Kutu foresaw that the empire would come to an end and decided to leave the royal court. He arrived at Ponorogo and set up an institution to teach young people martial arts as well as mysticism. Ki Ageng Kutu’s hope was that his students would bring back the glory days of the Majapahit Empire.
Nevertheless, the number of his followers was small and would not be able to take on the might of the Majapahit army. Therefore, in order to bring his message to a wider audience, and to gain their support, Ki Ageng Kutu devised the Reog Ponorogo. This strategy worked, and the dance became very popular amongst the people of Ponorogo. 

New Meaning to a Dance of Rebellion
The king of Majapahit was aware of the situation and an army was sent against Ki Ageng Kutu and his followers. Although the school was destroyed, the survivors continued to practice their arts in secret. Regarding the Reog Ponorogo, the king was unable to stop it from being performed in public as it had already gained much popularity. Instead, new plots were added, along with new characters from the folklore of Ponorogo. The Reog Ponorogo eventually became the traditional dance of the inhabitants of Ponorogo. Today it’s performed at such special events as weddings, Islamic celebrations, and the anniversary of the Ponorogo Regency.

Each Reog Ponorogo troupe consists of between 25 and 35 members and each performance is normally composed of 3 dance sequences. In addition, there are a number of set characters in this traditional dance form. One of these is the Jathil, who represent cavalrymen. Traditionally, it was male dancers with feminine looks who played this role. Today, however, it is women who play this part. According to one source, the Jathil symbolize the effeminate Majapahit cavalry who served Kertabhumi Bhre.

The rich symbolism of the Reog Ponorogo can also be seen in the character of the Singa Barong, a fearsome lion monster with peacock feathers on its head. The lion is supposed to represent the Majapahit king, whilst the feathers his queen. This was meant as a critique of the king, who, in spite of his ferocious looks, was controlled by the queen. The mask of the Singa Barong can weigh up to 50 kg (110lbs.), and the dancer playing this part uses only his teeth to support the heavy load.

A Case of Identity      
In 2007, a Malaysian tourism commercial, which was part of the Malaysia Truly Asia campaign, featured the Tari Barongan. This is a dance similar to the Reog Ponorogo, but it was probably brought to the country by migrants from Indonesia. For the people of Ponorogo, this was regarded as an identity theft, as the commercial did not acknowledge the origins of the dance.
Furthermore, the words ‘Reog Ponorogo’ on the mask of the Singa Barong was replaced with that of ‘Malaysia’, making matters worse. The silver lining, however, is that there was renewed enthusiasm for the traditional dance in the following months. Nevertheless, the spreading and development of the Reog Ponorogo in other parts of the world comes into conflict with a desire to protect this traditional dance by the people of Ponorogo. This is a thorny issue that may be resolved in the future.



Translated by Google Translate
Reog Ponorogo: Tarian Pemberontakan Yang Berubah Sejarah
Monster singa yang menakutkan dengan bulu burung merak di kepalanya dibebankan dan berputar-putar saat kavaleri dibungkam dan melompat. Para penonton terpesona dengan cerita yang diputar di depan mereka. Ini hanya rasa dari Reog Ponorogo, sebuah tarian tradisional yang lebih dari sekedar seni pertunjukan. Ini juga melibatkan tampilan kecakapan fisik dan juga supranatural. Ini adalah aspek ikon budaya mereka sehingga masyarakat Kabupaten Ponorogo di Indonesia melihat Reog Ponorogo sebagai identitas mereka. Reog Ponorogo adalah bentuk tarian tradisional yang berasal dari Ponorogo, sebuah kabupaten (subdivisi administratif) di Jawa Timur, Indonesia. Sementara ada berbagai jenis Reog di Indonesia, Reog Ponorogo adalah salah satu yang paling terkenal.
Bagaimana Reog Ponorogo Mulai
Ada beberapa cerita mengenai asal usul Reog Ponorogo. Yang paling populer melibatkan Ki Ageng Kutu, seorang majelis Majapahit yang tinggal pada abad ke-15. Ki Ageng Kutu bertugas di istana Kertabhumi Bhre (sering disamakan dengan Brawijaya V), raja terakhir dari Kekaisaran Majapahit. Selama periode ini, kekaisaran pun mengalami kemunduran, pengadilan korup, dan sang raja tidak kompeten. Ki Ageng Kutu meramalkan bahwa kekaisaran akan segera berakhir dan memutuskan untuk meninggalkan istana. Dia tiba di Ponorogo dan mendirikan sebuah institusi untuk mengajarkan bela diri bela diri serta mistisisme. Harapan Ki Ageng Kutu adalah bahwa murid-muridnya akan mengembalikan masa kejayaan Kerajaan Majapahit.
Meski begitu, jumlah pengikutnya masih kecil dan tidak akan mampu menguasai kekuatan tentara Majapahit. Oleh karena itu, untuk menyampaikan khalayaknya kepada khalayak yang lebih luas, dan untuk mendapatkan dukungan mereka, Ki Ageng Kutu merancang Reog Ponorogo. Strategi ini berhasil, dan tariannya menjadi sangat populer di kalangan masyarakat Ponorogo.

Arti Baru untuk Tari Pemberontakan
Raja Majapahit menyadari situasi dan sebuah tentara dikirim melawan Ki Ageng Kutu dan para pengikutnya. Meski sekolahnya hancur, korban selamat terus mempraktekkan keseniannya secara rahasia. Mengenai Reog Ponorogo, raja tidak dapat menghentikannya tampil di depan umum karena telah mendapat banyak popularitas. Sebagai gantinya, plot baru ditambahkan, bersamaan dengan karakter baru dari cerita rakyat Ponorogo. Reog Ponorogo akhirnya menjadi tarian tradisional penduduk Ponorogo. Hari ini dilakukan pada acara spesial seperti pernikahan, perayaan Islam, dan hari jadi Kabupaten Ponorogo.

Setiap rombongan Reog Ponorogo terdiri dari 25 sampai 35 anggota dan setiap pertunjukan biasanya terdiri dari 3 urutan tari. Selain itu, ada sejumlah karakter set dalam bentuk tarian tradisional ini. Salah satunya adalah Jathil, yang mewakili kavaleri. Secara tradisional, penari pria dengan penampilan feminin memainkan peran ini. Hari ini, bagaimanapun, adalah wanita yang memainkan peran ini. Menurut salah satu sumber, Jathil melambangkan kavaleri Majapahit yang bajik yang melayani Kertabhumi Bhre.

Simbolisme yang kaya dari Reog Ponorogo juga bisa dilihat dalam karakter Singa Barong, monster singa yang menakutkan dengan bulu merak di kepalanya. Singa itu seharusnya mewakili raja Majapahit, sementara bulu ratunya. Ini dimaksudkan sebagai kritik terhadap raja, yang, meski terlihat garang, dikendalikan oleh ratu. Topeng Singa Barong bisa beratnya mencapai 50 kg (110 lbs). Dan penari yang bermain di bagian ini hanya menggunakan giginya untuk menopang beban berat.
Kasus Identitas
Pada tahun 2007, sebuah iklan pariwisata Malaysia, yang merupakan bagian dari kampanye Malaysia Truly Asia, menampilkan Tari Barongan. Ini adalah tarian yang mirip dengan Reog Ponorogo, tapi mungkin dibawa ke negara ini oleh para migran asal Indonesia. Bagi masyarakat Ponorogo, ini dianggap sebagai pencurian identitas, karena iklan tersebut tidak mengakui asal mula tarian.
Selanjutnya, kata 'Reog Ponorogo' di topeng Singa Barong diganti dengan 'Malaysia', membuat keadaan menjadi lebih buruk. Lapisan perak, bagaimanapun, adalah bahwa ada antusiasme baru untuk tarian tradisional pada bulan-bulan berikutnya. Meski begitu, penyebaran dan perkembangan Reog Ponorogo di belahan dunia lainnya berseteru dengan keinginan untuk melindungi tarian tradisional ini oleh masyarakat Ponorogo. Ini adalah masalah berduri yang bisa dipecahkan di masa depan.


Translated manually by Rahmaluttifah
Reog Ponorogo: Tarian Pemberontakan yang Merubah Sejarah
Singa raksasa menakutkan dengan bulu burung merak di kepalanya berjalan dan berputar-putar kemudian melompati seorang kavaleri yang merundukkan badannya dengan melipat kakinya. Para penonton dibuat terpukau dengan cerita yang dimainkan dihadapan mereka. Itulah rasanya menyaksikan Reog Ponorogo, sebuah tarian tradisional yang lebih dari sekadar sebuah pertunjukkan seni. Reog ponorogo juga melibatkan peetunjukkan keahlian fisik dan supranatural yang hebat. Itu merupakan aspek simbolik kebudayaan yang orang-orang Ponorogo di Indonesia menganggap hal tersebut sebagai identitas mereka. Reog Ponorogo merupakan tarian tradisional berasal dari Ponorogo, sebuah kabupaten di Jawa Timur, Indonesia. Walaupun ada banyak macam Reog di Indonesia, Reog Ponorogo adalah salah satu yang paling terkenal.
Asal-usul Reog Ponorogo
Ada beberapa cerita mengenai asal-usul Reog Ponorogo. Salah satu yang paling terkenal ialah yang melibatkan Ki Ageng Kutu, seorang anggota Kerajaan Majapahit yang hidup pada abad ke-15. Ki Ageng Kutu bertugas di masa pemerintahan Kertabhumi Bhre (sering disebut  Brawijaya V),  Raja terakhir di Kerajaan Majapahit. Kondisi kerajaan sedang menurun pada masa ini, pemerintahan korupsi, dan Raja yang tidak kompeten. Ki Ageng Kutu meramalkan bahwa kerajaan akan berakhir dan memutuskan untuk meninggalkan kerajaan. Dia sampai di Ponorogo dan mendirikan institusi untuk mengajarkan seni bela diri dan ilmu mistis kepada anak-anak muda. Ki Ageng Kutu berharap murid-muridnya dapat membuat Kerajaan Majapahit Berjaya kembali.

Namun, jumlah pengikutnya sedikit dan tidak akan mampu mengambil-alih pasukan Majapahit. Maka dari itu, demi menyebarkan pesannya ke khalayak ramai, dan untuk mendapatkan dukungan mereka, Ki Ageng Kutu membuat Reog Ponorogo. Strategi ini berhasil, dan tarian tersebut pun menjadi sangat terkenal di kalangan masyarakat Ponorogo.

Arti Baru dari Tarian Pemberontakan
Raja Majapahit mengetahui mengenai situasi yangsedang terjadi di masyarakatnya dan mengirimkan pasukannya untuk menghadapi Ki Ageng Kutu dan para pengikutnya. Meskipun sekolah bela diri tersebut dihancurkan, orang-orang yang selamat tetap berlatih kesenian mereka secara diam-diam. Untuk Reog Ponorogo, Raja tidak dapat menghentikan pertunjukkannya karena sudah sangat terkenal. Maka, Raja menambahkan alur cerita dan karakter baru yang berasal dari cerita rakyat Ponorogo kedalam pertunjukkan Reog Ponorogo. Reog Ponorogo pun menjadi tarian tradisional masyarakat Ponorogo. Sekarang, Reog Ponorogo ditampilkan pada acara-acara special seperti pernikahan, perayaan islamik, dan perayaan ulang tahun Kabupaten Ponorogo.

Setiap rombongan Reog Ponorogo terdiri dari sekitar 25 sampai 35 anggotadan setiap pertunjukkan tersusun dari 3 rentetan tarian. Kemudian, ada beberapa pasang karakter dalam tarian tradisional ini. Salah satunya merupakan Jathil, yang bertindak sebagai kavaleri. Secara tradisional, yang memaninkan karakter Jathil merupakan seorang pria yang berdandan seperti seorang wanita. Namun sekarang, yang memainkan karakter ini adalah perempuan. Berdasarkan satu sumber, Jathil menyimbolkan kejantinaan kavaleri Majapahit yang melayani Kertabhumi Bhre.

Kekayaan simbolisme Reog Ponorogo juga dapat dilihat dari karakter Singa Barong, singa raksasa dengan bulu burung merak di kepalanya. Singa tersebut merepresentasikan Raja Majapahit, sedangkan bulu-bulu tersebut merepresentasikan Ratu. Itu dimaksudkan sebagai kritikkan kepada Raja, yang memiliki wajah garang namun dikendalikan oleh Ratu. Berat topeng Singa Barong dapat mencapai 50 kg (110lbs.), dan penari yang memainkan bagian ini hanya menggunakan giginya untuk menopang berat topeng tersebut.
Sebuah Kasus Identitas
Pada 2007, iklan pariwisata Malaysia, yang merupakan bagian dari kampanye Malaysia Truly Asia, menampilkan Tari Barongan, tarian yang menyerupai Reog Ponorogo. Namun, itu mungkin dibawa ke Malaysia oleh migran dari Indonesia. Untuk masyarakat Ponorogo, hal ini dianggap sebagai pencurian identitas, karena iklan tersebut tidak menyebutkan asal dari tarian tersebut.
Lebih jauh lagi, yang membuat lebih parah adalah kata ‘Reog Ponorogo’ yang berada di topeng Singa Barong digantikan dengan kata ‘Malaysia’. Namun, garis perak yang ada diperbaharui bulan berikutnya. Akan tetapi penyebaran dan perkembangan Reog Ponorogo di bagian lain dunia dating bersama konflik dengan keinginan masyarakat Ponorogo untuk melindungi tarian tradisionalnya. Ini merupakan isu tajam yang mungkin dapat diselesaikan di kemudian hari.


by:
Rahmaluttifah
4SA01